Kamis, 09 Juni 2011

Intropeksi Diri

Intropeksi diri merupakan hal yang paling penting untuk orang-orang seperti kita, karena kehidupan kita penuh warna, dan lika-liku. Tak sedikit, kata atau perilaku buruk seseorang sering kita perguncingkan, bahkan mungkin setiap kita berkumpul  pasti saja banyak membicarkan hal-hal yang negatif tentang kejelekan seseorang, kalau bahasa ibunya sih "Ngegosip". Hal tersebut tak pernah lepas dari kehidupan kita sehari-hari khususnya itu lho ibu-ibu.Hehehe. Padahal kalau kita pikir sebetulnya manusia itu tak luput dari kesalahan, dan pastinya setiap orang pasti punya kejelekan, jadi kenapa mesti kita bicarakan. Karena siapa tahu kejelekan kita pun  dibicarakan banyak orang, dan itu pasti karena kita hanya manusia biasa, makhluk Allah yang banyak kekurangannya. Jadi ada baiknya kalau kita banyak-banyak berintropeksi diri dulu sebelum membicarakan kejelekan orang lain, karena siapa tahu apa yang kita bicarakan itu ternyata sama dengan kejelekan yang kita sering perbuat. Jadi, yo kita intropeksi diri dulu, dengan begitu kita akan tahu jati diri kita lebih dalam lagi.

Read more...

Kamis, 02 Juni 2011

Sejuta Pengorbanan

Malam yang semakin hitam, tak ada satupun kicauan-kicauan kelelawar jahat yang berkeliaran di pelosok-pelosok ruko, begitupun dengan kupu-kupu malam. Aku yang terbiasa masuk singgasana mimpi pukul 01.00, kini pukul 11.00 sudah merapatkan mataku di kamar nomor 07, tak ada seorang pun teman di dalamnya, hanya selimut dan bantal-bantal yang selalu setia menemani mimpi-mimpiku.
"Tulalit-tulalit" 0852205xxxxx terlihat jelas di ponselku.
"Halo, Assalamualaikum" aku mengangkat ponselku dengan setengah sadar.
"Ini dengan Dinda?" suaranya begitu nyaring.
"Ya, maaf ini dengan siapa?" jawabku.
"Nisa, Din."
"Oh, Nisa, ada apa say, malam-malam begini tumben nelpon?"
"Besok aku ingin bertemu denganmu, ada hal penting yang ingin aku ceritakan padamu Din, kamu bisa Kan?" nadanya sedikit  memohon.
" Kebetulan sekali besok aku tidak ada acara, mudah-mudahan aku bisa,Nis."
" Kalau begitu besok aku ke tempatmu ya Din?"
"Ok. aku tunggu! aku mematikan kembali ponselku. Tak sadar jam sudah menunjukan pukul 01.00, mataku jadi sulit untuk dipejamkan, aku jadi teringat sosok Nisa yang hidupnya penuh dengan penderitaan. Ia selalu diejek teman-temannya karena keterbatasan fisik yang dimiliknya, Ia tidak bisa melihat, kecelakaan kecil yang menimpanya sewaktu ia menginjak usia 6 tahun. Kejadian itu selalu melekat di ingatanku.Nisa sahabatku dari kecil, Ia anak satu-satunya dari pasangan Ibu Asti dan Pak Heri.***
"Ya Allah, sudah jam 06.00 aku kesiangan".Aku bergegas ke kamar kecil karena ada satu kewajiban yang harus aku kerjakan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
"Assalamu'alaikum,assalamu'alaikum, assalamu'alaikum" suara belku berdering. itu pasti Nisa bisikku dalam hati. Tanpa pikir panjang aku segera mengenakan baju, lalu bergegas membukakan pintu. "Ya Allah,Nis sendiri? mataku tak henti menatapnya. " Engga , Din, tadi aku diantar sopir." Jawab Nisa, sembari menundukkan kepalanya. " Ayo masuk." Ajakku. Aku menggandeng  Nisa untuk masuk ke kamarku. Lama aku menatapnya. Aku merasa ada sesuatu yang begitu membuatnya seperti ini. Tak lama Nisa menangis, padahal aku belum sempat menegurnya.
"Sebetulnya apa yang terjadi, Nis? aku  memeluknya.
" Heru, Din." tangisnya semakin menjadi.
" Ada apa dengan, Heru?" tanyaku heran.
Heru adalah seorang lelaki yang baik hati, ia seorang yang agamis, rajin beribadah, ia tak pernah memandang wanita dari  fisiknya. Buktinya ia memilih Nisa sebagai calon pendamping hidupnya. Ia sangat menyayangi Nisa, meski Nisa tidak bisa melihat tetapi ia tetap menyayanginya. Nisa sudah menjadi belahana hatinya, dan separuh nafasnya. Nisa beruntung sekali mendapat calon pendamping seperti Heru.
"Nis, tolong ceritakan, ada apa dengan Heru!" Aku memaksa Nisa. Nisa  tersenyum lebar. Aku sempat heran, tadi ia nangis kok sekarang malah senyum-senyum.
 "Hahahaha kamu kebingungan ya, Din?" ia terbahak-bahak seolah tak ada apa-apa.
" kamu ini apa-apaan sih Nis" Ujar Dinda sembari marah.
" Aku becanda, Din." Nisa merayu Dinda. "Sebetulnya, sebetulnya... Heru melamarku, Din.
"Apa?" mendengar perkataan itu Aku terkejut. Aku tak menyangka hal ini akan terjadi sebegitu cepat, ya Allah ternyata kau mendengarkan do'a-do'aku, terimakasih ya Allah atas karunia yang engkau berikan kepada sahabat hamba ini.***
Malam ini malam yang paling membahagiakan untukku, berita itu membuat semua harapan yang terselip menjadi terbuka luas, dan malam inipun aku bisa terlelap tidur dengan sejuta kebahagiaan. Aku berharap esok pertemuan Nisa dengan Heru bisa berjalan lancar.
"Tulalittulalit 0852205xxxxx, Din besok aku ketemu ma Heru tepat pukul 08.00, aku harap kamu bisa mengantarku ya?" pesan Nisa, Ia selalu dibantu asistennya untuk mengirim sms.
"0813176xxxx, Insya Allah Nis." balasku...

Perjalanan menuju tempat pertemuan
"Din, kira-kira Heru sudah datang belum ya?" Nisa terlihat salah tingkah, seperti dia tak sabar untuk bisa bertemu dengan matahari hidupnya.
Aku kira udah Nis, Heru sepertinya sudah datang, itu pasti." Aku berusaha meyakinkan Nisa. Mobil melaju menuju sebuah danau yang begitu indah, di depan sana sudah terlihat sosok lelaki tampan berpenamplan sopan duduk dibawah pohon rindang pinggir danau. Aku berharap itu seorang pangeran yang sedang menanti kedatangan putrinya.
"Itu seperti Heru,Nis?" sapaku.
"Iya, betul itu Heru." Tanpa berpikir panjang lagi Nisa langsung memanggilnya, ia begitu yakin kalau itu adalah pangerannya padahal ia tak bisa melihat. Mungkin karena Heru sudah menjadi belahan jiwanya makanya ia begitu yakin. Pria itu langsung membalikan badannya. Ia langsung berlari menyambut kedatangan kekasih yang ia tunggu selama ini. Mereka berdua melepas rindu, dan aku sengaja meninggalkan mereka berdua. Di bawah pohon rindang,di pinggir danau mereka berdua meleapas rindu, semilir angin sepoy dihiasi daun-daun yang berguguran menambah indahnya pertemuan dua sejoli itu.
" Nis, dua bulan lagi kita akan hidup bersama, mudah-mudahan Allah meridhoi niat kita berdua." Heru memegang erat tangan Nisa.
"Ia, mas." Nisa mejawab dengan suara lirih.
"sebelum kita menikah, apa ada suatu keinginan yang menjadi harapan kamu,Nis?"
Nisa menarik panjang nafasnya. " Tentu ada, Mas. Dari dulu aku selalu bermimpi bisa menyaksikan kembali warna-warni kehidupan, aku ingin melihat kembali raut wajah orang tuaku  yang sempat aku lupakan, aku ingin melihat kembali indahnya alam semesta, aku ingin melihat danau yang sedang aku singgahi sekarang, dan yang paling utama aku ingin melihat wajah pangeran yang mendampingiku saat ini." Mendengar perkataan itu Heru terkejut.
"Ya Allah, dari dulu aku selalu menuruti keinginnanya, aku ingin selalu melihat orang yang aku cintai itu bahagia, aku ingin, melihat orang yang aku cintai ini bisa seperti orang normal pada umumnya. Ya Allah apa aku bisa membuatnya bahagia, menjadikan-impian-impiannya itu menjadi nyata?'Heru berkata dalam hati.
Pertemuan itu menjadikan suatu dilema dihati Heru. Di balik kebahagiananya terselip sebuah keinginan yang begitu besar untuk bisa membahagiakan calon pendamping hidupnya, dan ini menjadikan dirinya tersiksa karena ia merasa bahwa ia belum bisa membahagiakan Nisa sepenuhnya. Dua minggu menjelang pernikahannya Heru pergi ke sebuah rumah sakit, Ia berkonsultasi. Banyak hal yang ia tanyakan kepada dokter khususnya soal donor mata. Tak banyak orang yang bisa mendonorkan matanya buat orang lain, dan akan sulit sekali mencari donor mata untuk kekasihnya itu. Di sebuah kamar dihiasi lampu remang-remang Heru malamun sejenak. Lalu ia menuliskan puisi diselembar kertas.
Seminggu menjelang pernikahan, Aku, Nisa beserta keluarganya sibuk mempersiapkan pernikahan Heru dan Nisa, sedangkan Heru sibuk bolak-balik rumah sakit untuk mencari donor mata. Disela-sela kesibukan kami Heru menyempatkan waktu untuk bisa bertemu kembali dengan Nisa, Ia mengunjungi rumahnya dan Ia membawa kabar yang sangat luar biasa untuk Nisa. Ternyata Heru sudah mendapatkan donor mata untuk Nisa. Alangkah bahagianya kami semua, terutama Nisa, ia sudah tak sabar menanti detik-detik proses donor itu. Tiga hari menjelang operasi Heru mendatangi tempatku. Ia memberi sebuah amanat yang begitu berat aku pikul.

Di Rumah Sakit
"Nis, kamu sudah siap?" Tanyaku. Nisa terbaring di tempat tidur sebuah rumah sakit, ia ditemani orang tuanya. dan dibalik jendela aku melihat Heru sedang menatapnya tajam, tak henti ia menatapnya, tak sekalipun ia berkedip, pipinya disinggahi tetesan air mata, ini adalah air mata kebahagiaan untuk Heru. Karena sebentar lagi kekasih hatinya itu akan menjemput impiannya. 
"Aku sudah siap, Din? Heru Dimana Din?" tanya Nisa.
"Lagi ke kamar kecil?" Jawabku terbata-bata. Dibalik pintu terlihat dokter beserta suster-suster cantik mendekati kami, ini pertanda proses operasinya akan dimulai.
Satu jam, dua jam sudah berlalu. Aku bersama keluarga Nisa begitu cemas menunggunya. Proses operasi itu akan berjalan selama kurang lebih 8 jam. Sudah lama kami menunggu aku melihat dokter keluar dari kamar operasi.
" Bu, itu dokter sudah keluar dari ruangan, mungkin proses operasinya sudah selesai." Aku membangunkan ibu, lalu dengan serentak kami  menghampiri dokter itu.
"Proses operasinya sudah selesai dok? Gimana dengan Nisa dok?" tanyaku.
"Mari ikut saya ke ruang operasi.. Proses operasinya alhamdulillah berjalan lancar, beberapa saat lagi saya akan membuka perbannya. Saya mohon ibu dan de Dinda bisa melihatnya. Kita sama-sama berdoa mudah-mudahan mata Nisa bisa normal kembali. Aku dan Bu Asti menunggu dengan penuh kecemasan. Ini adalah saat-saat yang aku tunggu, terlihat dokter sudah mulai membuka perbannya. Dengan perlahan dokter itu membuka perban sedikit demi sedikit.
"De Nisa, tolong buka matanya dengan perlahan." Ucap Dokter.Dengan perlahan dan diiringi ucapan Basmallah Nisa membuka matanya, terlihat dengan samar didepannya sosok seorang dokter, lalu disampingnya ia melihat samar sosok seorang ibu, dan gadis sebayanya.
"Apa mungkin itu Ibu dan Dinda?' Bisik nisa dalam hati. Semakin lama ia menatap semakin jelas penglihatannya.
" Subhanallah, subhanallah, subhanllah, Ibu, Dinda, AKu bisa melihat lagi." teriak Nisa.
Alhamdulillah, Nisa." Aku dan ibu memeluk Nisa sambil mengucap syukur. Hari ini merupakan hari yang penuh dengan kebahagiaan buatku, sahabat kecilku kini sudah bisa melihat kembali. Tapi, apa ini akan menjadi awal kebahagiaan buat Nisa, atau sebaliknya?
"Din, Heru mana?" dengan penuh berseri Nisa mencari Heru.Aku terkejut ketika Nisa menanyakan hal itu, aku tak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa terdiam dan menundukkan kepalakku. Tanpa kata aku memberikan selembar kertas.

Untuk Kasihku

Kala kau membuka kedua matamu
Aku terlukis di dalamnya
Kala kau memejamkan kedua matamu
Akupun singgah di singgasana mimpimu

Aku mencintaimu melebihi dari segala batas
Tak cukup daratan berbatas pantai
Cintaku luas samudera. Luas membentang permadani biru
Kasih...
Ini sebuah pengorbannaku yang sesungguhnya.
Kutitipkan kedua mataku di matamu.
***

Kedua tangan Nisa bergetar setelah ia membaca surat dari kekasihnya, tak sedikitpun kata yang terlontar dimultnya. Wajahnya merah padam, aliran darahnya seolah-olah berhenti sejenak. jantungnya berdetak kencang. Air matanya mengalir deras di pipinya namun suara tangisnya tak terdengar sedikitpun. Aku tak sanggup melihat semua ini. Aku tak tak tahu apa yang akan terjadi nanti pada sahabatku ini. Aku hanya bisa meratapi kesedihan dan membawa Nisa ke sebuah ruangan tempat dimana Heru berbaring. Sebetulnya Aku tak sanggup menyaksikan pertemuannya. Nisa memeluk erat tubuh Heru, air matanya semakin deras. Sedangkan Heru hanya bisa berkata " Sayang, hari ini aku bahagia, kini kau bisa melihatku. Inilah aku apa adanya. Inilah aku yang mencintaimu. Aku ingin kau bisa kokoh berdiri, kuat melawan terjangan ombak, bertahanlah sayang dengan sejuta cinta kasih untuku. Lalu Heru menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal membawa sejuta cinta kasih dan meninggalkan sejuta pengorbanan.

Read more...

Pengikut

About This Blog

  © Blogger templates ProBlogger Template 3D by Kang Fatur 2011

Back to TOP